05 November 2021

Kalaupun Anda Menulis Artikel yang Tidak Sesuai Niche, Tak Akan Ada yang Tahu

Blogging
Menulis blog tak sesuai niche

Dua belas tahun lalu, ketika untuk pertama kali saya menulis di blog, isinya adalah campuran antara puisi, cerpen, cerita keseharian, opini yang sebetulnya enggak penting-penting amat, dan sebagainya. Walau saat itu saya sudah paham cara membuat label di Blogspot , dan dengan benar mengelompokkan konten berdasarkan topiknya, tapi isinya random. Sangat random.

Semua kerandoman itu berubah setelah negara api menyerang saya ikut Fun Blogging di tahun 2015. Saya mulai membenahi blog. Membeli domain TLD, mengganti theme dengan yang lebih ramah di mata, membuat akun Google Analytics dan memasang Google Search Console , terobsesi pada Klout Score dan Alexa rank, dan —ini yang penting— menentukan niche.

Mula-mula saya tidak tahu akan dibawa ke mana hubungan kita, eh, akan membawa blog ini ke arah mana. Hingga kemudian hati saya berlabuh pada niche tekno. Dari menulis puisi dan cerpen yang notabene “sastrawi” ke tekno yang lebih teknis, benar-benar berubah 180 derajat.

Pemilihan niche tekno pun terjadi begitu saja alias tanpa disengaja. Saat itu sedang ramai-ramainya brand smartphone dan laptop mengadakan lomba blog. Karena saya sering ikut dan beberapa kali menang, saya mulai berpikir “inilah jalanku menuju kebenaran yang hakiki” (anjir!).

Keputusan itu diperkuat dengan karakter saya yang sok tahu dan sering mengajari orang meski tanpa diminta. Karakter itulah yang kemudian membuat saya sering membuat tutorial dan tip-tip ngeblog di blog ini. Sejak sering menulis konten, ehem, bermanfaat sesuai petuah para mentor Fun Blogging (Teh Ani Berta, Kak Haya Aliya Zaki, dan Bu Shintaries), blog ini pun mulai ramai. Trafik mulai naik, komentar mulai berdatangan.

Saat itu saya mulai mengalami star syndrome tapi berusaha cool. Di sisi lain, semakin yakin untuk berada di jalan bloger tekno. Sisanya adalah sejarah.


Hilangnya Identitas

Tapi setelah bertahun menulis di genre ini, lama-lama saya bosan juga. Lebih tepatnya, ada bagian dari diri saya yang merasa terkekang. Tekno sifatnya technical writing alias artikel-artikel yang bersifat teknis sedangkan mau bagaimanapun di dalam sini saya tetaplah cerpenis. Jelas tidak mungkin saya menulis tentang SEO atau tutorial ngoding memakai gaya bertutur cerpen (atau bisa?).

Dulu, ketika masih sering ikut lomba blog, karena temanya storytelling, saya masih bisa menggunakan gaya bertutur cerpenis sambil sesekali curhat. Tapi lama-kelamaan saya juga lelah ikut lomba blog .

Serba salah maneh mah, Chan! Jadi hayangna kumaha?

Tidak tahu. Saya tidak tahu apa yang saya mau.

Saya mulai kehilangan identitas.

Mula-mula tak lagi ikut lomba, jadi jarang update blog, Kalaupun update, itu hanya karena ada sponsored post. Hingga pada suatu hari kemampuan saya menulis berhenti sama sekali .

Selain jarang menulis, saya juga tak lagi aktif di komunitas bloger, tidak ikut program-programnya, dan jarang sekali blog walking ke blog orang lain. Maka seiring berjalannya waktu blog ini pun kembali kepada kesunyian. Trafik stabil hanya karena trafik organik.


Ya Memang Kenapa?

Para bloger, termasuk saya, pasti sulit terlepas dari doktrin “Harus menulis konten yang bermanfaat bagi pembaca,” atau “Tulislah konten sesuai niche,” atau “Update blog secara berkala”.

Doktrin itu pulalah yang sering saya lapalkan pada para bloger pemula, termasuk sering saya tuliskan di blog ini.

Lucunya, setelah kemampuan menulis saya kembali, sekarang saya justru melakukan hal yang sebaliknya.

Sejak insiden writer’s block parah itu, saya mulai menggunakan mantra “ya memang kenapa?”.

Kalau akan menulis artikel yang tidak sesuai niche seperti artikel ini, ya memang kenapa? Kalau konten yang saya tulis ternyata tidak mendatangkan manfaat bagi peradaban umat manusia, ya memang kenapa? Kalau saya malas menulis dan blog lama tidak update, ya memang kenapa?

Bahkan kalau blog ini tidak lagi ada pembacanya, YA MEMANG KENAPA?

Karena di atas itu semua, di atas segala peraturan tak tertulis tentang jadi bloger bermartabat , pada dasarnya kitalah yang justru lebih butuh menulis, bukan pembaca.

Jadi, sebelum menulis untuk orang lain, menulislah untuk dirimu sendiri. Dan berbahagialah! (eL)

T A G S:

S H A R E:

Langit Amaravati

Langit Amaravati

Web developer, graphic designer, techno blogger.

Aktivis ngoding barbar yang punya love-hate relationship dengan JavaScript. Hobi mendengarkan lagu dangdut koplo dan lagu campursari. Jika tidak sedang ngoding dan melayout buku, biasanya Langit melukis, belajar bahasa pemrograman baru, atau meracau di Twitter.

Komentar