22 August 2022

Dari Kuas ke Kuas

Drawing
Dari Kuas ke Kuas
Foto: Image by Freepik

Bagi saya, menggambar dan melukis adalah pelarian ruang jeda. Ruang saat saya bisa sedikit beristirahat dari pekerjaan sebagai freelancer yang senantiasa berlari dari deadline ke deadline. Ruang tempat saya sejenak menarik napas, mengisi kembali energi agar siap bertempur kembali esok hari.

Sebagaimana jeda, tak ada target pencapaian. Saya tak perlu mematok harus menguasai ABCD pada rentang waktu tertentu. Dan kalaupun tak menguasai apa-apa, itu tak jadi masalah.

“Selow banget idup lo, Chan!”

Memang!

Sebab menjadi manusia penuh ambisi dan terobsesi menguasai berbagai skill tak lagi menarik, setidaknya untuk saya. Ya, saya masih belajar hal-hal lain terkait profesi karena memang diperlukan, belajar ngoding misalnya. Tetapi, itu pun dijalani dengan ke-selow-an yang sama.

Dalam prosesnya, menggambar dan belajar melukis juga menjadi sebuah rihlah, sebuah perjalanan, sama seperti menulis. Dari awal melukis hingga hari ini, banyak sekali hal yang saya temukan. Bukan, bukan tentang teknik atau metode, melainkan tentang diri saya sendiri.

  • Mengapresiasi hal-hal kecil

Pernahkah Anda begitu gembira ketika berhasil melakukan sesuatu yang renik seperti melukis daun? Percaya atau tidak, saya tidak bisa melukis daun, bunga, pohon, apa pun.

Setelah berkali-kali mencoba dan bisa melukisnya -meskipun tentu saja tak sempurna- saya sangat mengapresiasi diri saya sendiri. Bukan mengapresiasi keberhasilan, tetapi mengapresiasi karena saya tidak lelah mencoba.

  • Persetan dengan bakat

Dahulu, saya selalu percaya bahwa untuk bisa menggambar diperlukan bakat. Sialnya, saya tidak punya bakat. Barangkali itu benar, tapi persetan dengan bakat. Saya cuma ingin menggambar dan melukis. Titik.

  • Menertawakan kekurangan

Menerima kekurangan adalah satu level, tetapi MENERTAWAKANNYA is an another level.

Kalau Anda pernah melihat gambar atau lukisan saya, barangkali Anda akan bertanya, “Kenapa meneruskan sesuatu yang TIDAK AKAN PERNAH KAMU KUASAI?” atau “Kenapa terus melukis padahal hasilnya enggak bagus-bagus amat?”

Jawabannya sederhana: because I love it.

Misalnya, saya pernah mencoba melukis padang rumput. Hasilnya begitu buruk sehingga lukisan saya lebih mirip gumpalan-gumpalan cat hijau. Apakah saya kecewa? Tidak, saya justru tertawa. Menertawakan kekurangan. Menertawakan kelemahan. Menertawakan hal-hal yang tidak mampu saya lakukan.

“Ah, itu mah lo-nya aja yang denial dan berusaha mengingkari emosi.”

Tidak juga.

Saya hanya … berhenti berusaha sempurna.

  • Berdamai dengan trauma

Ok, ini mungkin agak lebay.

Jadi, sejak kecil saya suka sekali menggambar, meskipun gambar saya ya gitu-gitu aja. Saking sukanya, semua buku catatan sekolah penuh gambar. Elemen visual membuat saya lebih cepat mengerti pelajaran. Semuanya terasa menyenangkan sampai … sampai saya gagal masuk senirupa ITB.

Sejak saat itu hingga belasan tahun kemudian, saya “gantung pena”. Tidak lagi berani menggambar karena tiap kali menggoreskan pensil, saya selalu merasa sedang UMFSRD (Ujian Masuk Fakultas Senirupa dan Desain) dan akan GAGAL.

Dari sesuatu yang amat disukai, menggambar menjadi hantu yang teramat ditakuti.

Dua tahun lalu, tepatnya tahun 2020, saya memutuskan untuk menghadapi hantu itu. Bukan untuk bertarung, melainkan untuk berdamai dengannya. Saya mulai belajar menggambar dari awal .

Itu membuat saya menerima kegagalan dengan perspektif baru. Bahwa saya dan setiap manusia di muka Bumi pasti pernah gagal, dan itu TIDAK APA-APA.

Kegagalan, begitu juga kesuksesan, merupakan sebuah keniscayaan. Saya bahkan tak perlu repot-repot menghibur diri dengan, “Pasti ada hikmah di balik kegagalan,” atau “Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.”

Kalau gagal, ya, gagal, dan itu -sekali lagi- tidak apa-apa.

  • Review art supply

Saya punya ketertarikan berlebihan terhadap alat-alat tulis dan peralatan gambar . Mungkin sama seperti kalian para beauty blogger yang merasa tertarik dengan makeup dan segala printilannya. Andai punya teman ngobrol, saya bisa membicarakan kertas cat air atau cat akrilik mana yang paling bagus selama berjam-jam, tapi kan saya tidak punya teman. *eh

Karena hasrat untuk ngocoblak begitu menggebu, maka lahirlah tulisan-tulisan berisi ulasan art supply . Saya jadi lebih rajin menulis di blog. Semoga saja konsistensinya tetap terjaga.

“Apakah ini hanya sindrom pemula? Maksudnya, Teteh kan baru belajar jadi wajar jika segala sesuatu terasa indah.”

Hmmm … enggak, sih. Ketertarikan saya terhadap ini sudah berlangsung selama puluhan tahun.

  • Punya hobi

Karena desain dan ngoding sudah dikonversi menjadi profesi alias pekerjaan, saya tak lagi punya hobi. Sekarang saya punya hobi yaitu menggambar dan melukis. Horeee!


Tulisan ini mungkin terdengar seperti “hikmah yang dipaksakan”, tetapi disadari atau tidak, ada semacam character development. Dan yang lebih penting dari semuanya, saya menyukai diri saya yang sekarang: pribadi yang lebih tenang. (eL)

T A G S:

S H A R E:

Langit Amaravati

Langit Amaravati

Web developer, graphic designer, techno blogger.

Aktivis ngoding barbar yang punya love-hate relationship dengan JavaScript. Hobi mendengarkan lagu dangdut koplo dan lagu campursari. Jika tidak sedang ngoding dan melayout buku, biasanya Langit melukis, belajar bahasa pemrograman baru, atau meracau di Twitter.

Komentar