22 November 2023

Belajar Ngoding Secara Autodidak di Usia 36 Tahun

Coding
Belajar ngoding secara autodidak
Foto: generated with AI

Semesta akan bersatu-padu membantu mereka yang sedang mewujudkan mimpinya. Begitu kata Paulo Coelho. Begitu pula yang saya yakini ketika belajar ngoding empat tahun silam. Sudah tua, “hanya” lulusan SMK, perempuan pula.

Tetapi saya lupa bahwa Santiago, tokoh dalam novel The Alchemist karangan Coelho itu hanya beruntung kala pertama, selebihnya adalah usahanya sendiri. Hal yang sama juga terjadi pada saya.

Jadi, apakah bisa menjadi seorang programmer secara autodidak atau tanpa pendidikan formal? Apakah bisa belajar ngoding meski usia sudah tidak muda lagi?

Jawabannya tentu BISA. TETAPI, tantangan yang dihadapi oleh para pembelajar autodidak jelas berbeda dengan yang mendapat pendidikan formal.

Berikut beberapa tantangan yang saya hadapi saat belajar ngoding selama 4 tahun ini:

  1. Pengetahuan fundamental

Di awal-awal saya tidak paham dengan yang namanya logika pemrograman, tipe data, algoritma, dan hal-hal fundamental lainnya. Jadi, lebih banyak bingungnya.

  1. Roadmap

Saya belajar secara random, belum tahu tentang roadmap. Hanya keberuntungan pemula yang membuat saya belajar CSS dan HTML dulu sehingga lumayan jadi dasar ketika belajar bahasa pemrograman.

Sebagai bayangan se-random apa metode belajar saya dulu: saya belajar React jauh sebelum JavaScript. Mencoba membuat web menggunakan Hugo padahal konsep routing saja tidak tahu.

Di tahun kedua (atau ketiga?) barulah mulai meniti jalan kebenaran, eh, roadmap yang benar.

  1. Usia hanya angka, katanya

Saya percaya bahwa belajar adalah proses seumur hidup . Bahwa kita bisa memulai kapan saja. Tapi kita juga harus realistis bahwa kemampuan otak manusia akan berkurang seiring bertambahnya usia.

Mulai belajar Python di usia 36 jelas berbeda dengan yang belajar Python di usia 20-an, misalnya.

Untuk mengakalinya, saya banyak mencatat, mengulang, dan menuliskan kembali untuk mengasah pemahaman tentang suatu topik. Itu sebabnya saya banyak menulis artikel tutorial coding di blog. Hal itu saya lakukan untuk belajar, untuk mengasah pemahaman.

  1. Ngadi-ngadi jadi poliglot

Saya kenal beberapa programmer yang bisa minimal 5 bahasa pemrograman lalu saya ngadi-ngadi dengan mengikuti jejak mereka dan belajar beberapa bahasa sekaligus.

Hasilnya? Teu kaditu teu kadieu kalau kata urang Sunda mah.

Ngomong-ngomong, mereka yang bisa lebih dari 5 bahasa itu ternyata udah ngoding sejak mereka berusia belasan. Pantesan atuh, yah. Jam terbangnya jauh berbeda.

  1. Pendidikan formal

“Ah, dia lulusan IT tapi kerja jadi bankir.”

“Dia lulusan IT tapi enggak bisa ngoding.”

“Iya, sih, di Indonesia mah lebih mementingkan ijazah, bukan skill.”

“Dia lulusan IT, tapi ….”

Familiar dengan kalimat-kalimat di atas? Bisa jadi kamu setuju dengan itu, tapi kalau kamu pernah berada di posisi saya, mungkin kamu akan berpikir sebaliknya. Ah, syedih kalau diceritain mah.

Kamu tahu berapa kali saya ditawari pekerjaan tapi akhirnya dibatalkan ketika mereka tahu saya bukan sarjana? Skill memadai, katanya. Portofolio udah manteb, katanya. Eh, pas lihat pendidikan, mereka mundur alon-alon.

Tidak, saya tidak sakit hati. Itu memang realita yang mesti dihadapi. IMO, ijazah dan IPK adalah tolok ukur yang cukup fair untuk menilai keahlian seseorang.

Lagi pula, di bangku kuliah kita akan mendapatkan materi yang tidak bisa kita dapat di luar. Contohnya ya hal-hal fundamental di poin pertama.

  1. Terburu-buru

Biasalah ya, namanya juga pemula. Pengennya mah ketika baru belajar ngoding teh udah langsung bisa nge-hack satelit NASA. Saya juga dulu begitu.

Sekarang mah lebih selow. Ini udah setahun lebih belajar Laravel dari versi 9 sampai sekarang udah mau versi 11, tapi belum bisa-bisa. Enggak apa-apa, pelan-pelan aja.

  1. Mau jadi apa? Mau bikin apa?

Ini pendapat dan pengalaman saya pribadi. Untuk para pembelajar autodidak, sebaiknya langsung fokus ke satu bidang. Misalnya, front-end, software development, mobile apps.

Alasannya sederhana, karena setiap bidang menggunakan teknologi berbeda. Misalnya, kalau mau fokus di web-dev, ngapain belajar Kotlin hanya karena sedang happening?

“Ya tapi kan belajar mah apa aja weh.”

Ya, itu namanya ngarawu ku siku. Kalau masih muda, banyak waktu, dan tenaga mah silakan. Kalau udah usia 35 ke atas mah, jangar weh nu aya.

Tips Belajar Bahasa Pemrograman
BACA JUGA

Tips Belajar Bahasa Pemrograman

Saat di sekolah atau kuliah, kita pasti diajari dan dipandu oleh dosen atau guru. Tapi untuk pembelajar autodidak, kita tidak akan mendapatkan itu. …

Baca Selengkapnya

Artikel setengah curhat ini tidak dibuat untuk menakut-nakuti. Sebaliknya, saya justru ingin memotivasi. Karena seperti yang dikatakan salah satu kawan saya, programming itu bersifat inklusif yang artinya siapa saja boleh dan bisa belajar ngoding.

Namun, saya juga ingin mengajak para pemula untuk mawas diri agar tidak termakan jargon-jargon tak masuk akal seperti, “Jago ngoding dalam waktu 3 hari”, atau “Jadi fullstack-developer dalam waktu 1 bulan,” dan janji-janji manis tak realistis semacamnya. (eL)

T A G S:

S H A R E:

Langit Amaravati

Langit Amaravati

Web developer, graphic designer, techno blogger.

Aktivis ngoding barbar yang punya love-hate relationship dengan JavaScript. Hobi mendengarkan lagu dangdut koplo dan lagu campursari. Jika tidak sedang ngoding dan melayout buku, biasanya Langit melukis, belajar bahasa pemrograman baru, atau meracau di Twitter.

Komentar